Kamis, 28 Agustus 2008

BERGERAK OR MATI


BERGERAKLAH ATAU MATI

“Kita ini tak pernah berbuat salah, tapi kok selalu merasa dikejar-kejar ya.”

Itulah ungkapan salah satu manajer yang saya temui beberapa saat lalu. Sambil mohon maaf dia mengungkapkan betapa waktu yang dimilikinya setiap hari tak cukup untuk melakukan semua hal sehingga beberapa kali menunda apa yang dijanjikan.

Sebenarnya bukan hal serius karena yang saya minta adalah beberapa belas menit untuk memberi pendapat soal pendukung pendidikan anaknya. Tapi begitulah kenyataannya, manajer di satu perusahan nasional itu tampaknya benar-benar tak punya waktu. Mungkin perasaan ini sering pula Anda alami. Betapa pekerjaan tak mudah dipuaskan tuntutannya.

Selalu saja ada tugas baru dari atasan yang mesti dikerjakan serta ada saja yang dirasa kurang. Mungkin itulah risiko menjadi pegawai. Tapi ternyata sebenarnya perasaan semacam itu adalah hal wajar yang dialami banyak orang yang mau terus berbuat lebih baik. Selalu tak puas dengan apa yang telah dicapai.

Jadi itu wajar dan manusiawi, meskipun bagi mereka yang kurang suka kerja keras kondisi dan tuntutan itu terasa mengada-ada. Dan bagi pimpinan puncak di manajemen serta pemilik usaha, tuntutannya bahkan lebih tinggi lagi. Tuntutan tak terstruktur yang bisa jadi lebih susah untuk mengukurnya karena menyangkut visi dan antisipasi.

Tuntutan yang jauh lebih kompleks daripada sekadar melaksanakan tugas karena mesti mengawang-awang memperhitungkan segala kemungkinan. Sejak plotting siapa harus ke mana, bagaimana neraca dan cashflow usaha hingga enam bulan dan setahun ke depan, sampai soal strategi produksi dan pemasaran suatu produk yang baru digagas.

Dislokasi Selalu
Lepas dari soal status, jelas bahwa sebagai pribadi, sebenarnya soal kompleksitas masalah yang mesti dihadapi ini tak ada bedanya. Setiap orang dituntut selalu melakukan perhitungan, antisipasi, mempelajari pengetahuan dan keterampilan baru. Prinsipnya bagaimana memenuhi tuntutan tanpa lelah terus memperbarui diri agar tak ketinggalan.

Apalagi di tengah situasi dan kondisi yang begitu cepat berubah. Sejak soal perkembangan suatu peristiwa yang sekarang bisa diikuti dari menit ke menit, sampai ke soal keterampilan, kompetensi dan bidang tugas yang bisa dengan cepat kehilangan relevansinya untuk bisa memberikan sumbangan bagi pencapaian target perusahaan.

Kalau mau ditambah daftarnya bisa disebutkan peluang usaha atau bahkan bentuk usaha baru yang harus dengan jeli diamati untuk bisa masuk di saat yang tepat dan menuai sukses. Yang bila tak dimanfaatkan dengan seksama momentumnya akan mengecilkan dan menghilangkan begitu saja kesempatan di depan mata.

Dalam menjalaninya, bisa jadi tidak harus membuat pilihan jadi dikotomis: hanya mengerjakan ini atau itu atau yang satu harus dikerjakan dan yang lain harus disingkirkan karena akan bertabrakan. Tapi justru bagaimana membuatnya selalu bisa bersinergi: sukses yang satu akan menambah sukses yang lain dan saling menunjang.

Soalnya memang mengubah habit yang selama ini sudah terbentuk. Mesti ada pembelajaran keterampilan baru atau setidaknya kesadaran baru bahwa dislokasi—entah karena pekerjaannya hilang, desakan struktural dari bawah atau tuntutan lainnya–selalu bisa terjadi pada siapa saja, kapan saja dan di mana saja.

Tak Bisa Stay
Prinsipnya memang orang tidak bisa stay selamanya pada satu posisi kalau tak mau mandek dan mati. Jadi memang harus ada fleksibilitas untuk beradaptasi dengan segala perubahan yang terjadi. Dan bahwa kesediaan untuk menjalankan keyakinan pentingnya selalu meng-update diri akan bisa mengatasi resistensi psikologis.

Terjadinya reaksi psikologi seperti bingung, menolak atau bahkan marah dan terhina beberapa saat setelah sadar tak ada privilege lagi itu satu keniscayaan. Masalahnya bagaimana selalu bisa bangkit lagi menata perasaan dan rasio untuk terus keep fighting mempelajari dan sekaligus menerapkan hal dan kebiasaan baru itu.

Jadi malas itu nonsens kalau orang merasa perlu melakukan satu keharusan demi sesuatu yang dianggapnya baik dan penting. Soal utamanya mungkin banyak sekali pengalih perhatian (distractors) di sekelilingnya yang memang membuat yang bersangkutan larut dan meloncat-loncat dari satu topik ke topik yang lain yang dianggap penting.

Proses yang seakan otomatis ini sering membuat kondisi tanpa prioritas. Akibatnya tahu-tahu saja waktu habis dan orang merasa tak melakukan apa-apa. Di sinilah perlunya menghayati kondisi here and now (di sini dan sekarang) yang bisa dirasakan sepenuhnya secara fisik dan mental.

Bukan kondisi terburu-buru dikejar target atau sekadar harus dilakukan atau yang lebih celaka jadi sekadar seperti refleks gerak mesin yang otomatis. Tak ada makna yang bisa dirasakan dan aliran sensasi jiwa dan raga yang bisa dinikmati karena semua memang datar saja tanpa gejolak berarti.[rab]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anda ingin memberi komentar tentang postingan ini. Silakan klik : POSKAN KOMENTAR ( diatas ). Terimakasih.